Pengertian Filantropi dan Perbedaannya dengan Charity

Pengertian Filantropi

Yayasan Suara Hati Madani (YASTIMA) adalah lembaga filantropi. Apa arti filantropi?

Pengertian Filantropi

Dalam bahasa Inggris, philantropy artinya “keinginan untuk memajukan kesejahteraan orang lain, yang diekspresikan terutama dengan sumbangan uang yang murah hati untuk tujuan yang baik.”

Mengutip laman Bisnis, filantropi (philanthropy) berasal dari dua kata Yunani, yaitu philos yang artinya cinta dan anthropos yang berarti manusia. Dengan begitu, filantropi bermakna “cinta pada sesama manusia” dalam artian peduli pada kondisi manusia lainnya.

Aksi filantropi kemudian diwujudkan dengan perilaku dermawan dan kecintaan pada sesama. Tradisi filantropi ini sebetulnya sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno ketika mereka menyumbangkan harta bendanya untuk perpustakaan dan pendidikan. Begitu pula di zaman Mesir Kuno yang mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan para pemuka agama.

Dalam perkembangannya, filantropi kemudian dimaknai sebagai “upaya untuk berbagi menyalurkan sumber daya dan berderma secara terorganisir untuk kepentingan strategis jangka panjang dan berkelanjutan”.

Hal yang menarik dari kegiatan filantropi beberapa tahun terakhir ialah sisi pemberdayagunaannya yang kian meluas. Misalnya, untuk filantropi keagamaan kini tidak hanya terbatas pada pembangunan masjid, bencana, ataupun membantu anak yatim, tetapi sudah masuk ke ranah yang lebih strategis.

Misalnya, untuk pemberdayaan ekonomi, perempuan, antikorupsi, advokasi buruh migrah, pemberdayaan buruh, dan sebagainya.

Ini yang kemudian membedakan antara filantropi dan charity sebab aksinya dilakukan secara terorganisir sehingga bisa menyelesaikan masalah sampai ke akar, sedangkan charity sifatnya direct giving dan hanya untuk mengatasi symptom atau gejala.

Filantropi Islam

Islam sangat mendorong umatnya untuk berjiwa filantropis atau dermawan, membantu sesama, khususnya membantu kaum dhuafa. Islam menjanjikan pahala luar biasa bagi amal sedekah, bahkan menjadikan zakat sebagai salah satu Rukun Islam.

Mengutip hasil penelitian yang dimuat Jurnal Ekonomi Islam, lembaga filantropi Islam berkembang pesat. Awal momentum perkembangan filantropi Islam dimulai tahun 1990-an.

Hingga saat ini pertumbuhan filantropi Islam (lembaga-lembaga amil zakat, infaq, sedekah dan
wakaf) di Indonesia berkembang dengan sangat pesat.

Islam sebagai agama yang syāmil, kāmil, dan rahmatan lil’alamin menampilkan dirinya sebagai agama yang berwajah filantropis.

Wujud filantropi ini digali dari doktrin keagamaan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits yang dimodifikasi dengan perantara mekanisme ijtihad, sehingga institusi zakat, infak, sedekah, dan wakaf muncul. Tujuannya adalah supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.

Filantropi Islam juga dapat diartikan sebagai pemberian karitas (charity) yang didasarkan pada pandangan untuk mempromosikan keadilan sosial dan maslahat bagi masyarakat umum.

Namun, jika karitas lebih dekat pada ajaran keagamaan sehingga prakteknya lebih bersifat individual dan menyangkut pahala dan dosa, maka dalam filantropi cakupannya lebih luas karena lebih dekat dengan filsafat moral yang dalam praktiknya bersifat sosial.

Dasar utama filantropi Islam bersumber dari al-Qur’an, Surat al-Ma’ûn: 1-7. Salah satu dari tanda orang yang mendustakan agama adalah tidak menyantuni anak yatim. Itu artinya, ada konsep sosial keagamaan yang kemudian memunculkan doktrin zakat (tazkiyah) yang mengalami dua tahap yaitu, tahap makkiyah (theologis) yang merupakan tahap pembersihan diri, dan tahap madaniyah yaitu tahap pembersihan harta dengan memberikannya kepada delapan ashnâf seperti, yang terdapat dalam Q.S. At-Taubah: 60, yaitu:

  1. Orang-orang fakir,
  2. Orang-orang miskin,
  3. Pengurus/pengumpul zakat (Amil),
  4. Para mu’allaf (orang yang baru memeluk Islam),
  5. Riqab (hamba sahaya),
  6. Gharimin (orang berutang/bangkrut),
  7. Fi sabilillah (orang berjuang di jalan Allah)
  8. Ibnu sabil (orang sedang dalam perjalanan).

Pada posisi inilah karitas (charity) dapat dipahami sebagai filantropi sebab pada dasarnya filantropi Islam sangat kental dengan sifatnya yang individual karena kaitannya dengan ibadah.

Selain itu, dasar filantropi dalam Al-Qur’an juga terdapat dalam enam surat pertama yang diturunkan di Makkah, yaitu Q.S. AL-Lahab: 2-3, Q.S. al-Humazah: 1-3, Q.S. al-Maûn: 1-3, Q.S. al-Takâtsur: 1-2, Q.S. al-Layl: 5-11, dan Q.S. al-Balad: 10-16.

Ini menunjukkah bahwa wahyu yang turun di awal-awal masa kenabian membawa visi sosial al-Qur’an untuk menegakkan keadilan sosial dan ekonomi. Tidak hanya itu, ayat-ayat yang diturunkan di Madinah pun masih banyak yang menekankan tentang pentingnya menerapkan filantropi, diantaranya QS. Al-Taubah: 34 dan 71, Q.S. Al-Baqarah: 2-3 dan 272, Q.S. dan Ali-Imran:180.

Dua Jenis Lembaga Filantropi

Berdasarkan sifatnya, dikenal dua bentuk filantropi, yaitu filantropi tradisional dan filantropi untuk keadilan sosial.

1. Filantropi tradisional

Filantropi tradisional adalah filantropi yang berbasis karitas. Praktik filantropi tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial, misalkan pemberian langsung para dermawan untuk kalangan miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kelemahannya adalah tidak bisa mengembangkan taraf kehidupan masyarakat miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi ikan, tapi tidak memberi pancing (kail).

2. Filantropi untuk keadilan sosial

Filantropi untuk keadilan sosial (social justice philanthropy) adalah lembaga yang menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Jembatan tersebut diwujudkan dengan upaya memobilisasi sumber daya untuk mendukung kegiatan yang menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab langgengnya kemiskinan.

Dengan kata lain, filantropi jenis ini adalah mencari akar permasalahan dari kemiskinan tersebut, yakni adanya faktor ketidakadilan dalam alokasi sumber daya dan akses kekuasaan dalam masyarakat.*

 

Leave a Reply